Bandung

Lilpeace
4 min readDec 20, 2022

--

“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”
- M.A.W. Brouwer -

Jalan Braga tetap terlihat cantik walaupun dilalui oleh banyak orang.
Suasana dingin daerah Ciwidey yang diselimuti kabut sering membuat rindu.
Bangunan bersejarah di sekitar gedung Merdeka membuat siapa saja ingin memotret.
Juga, rumah-rumah tua berarsitektur kolonial Belanda yang berjejer di sekitar Jalan Cipaganti selalu berhasil membiusku untuk melihatnya dalam waktu lama.
Oh, hampir lupa! Kesabaranku bisa habis karena lampu merah yang sangat lama di Jalan Soekarno Hatta.

Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi
- Pidi Baiq -

Aku lupa kapan mulai jatuh hati dengan kota dimana tokoh Dilan dan Milea jatuh hati juga
Yang pasti, disini Tuhan mempertemukanku dengan orang-orang yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri.
Banyak sekali cerita hidup yang terukir di Bumi Pasundan.
Kisah manis, pahit, cerah, abu-abu, semua ada.
Awalnya Bandung sudah kuanggap sebagai rumah.
Bahkan aku sempat berangan-angan untuk bisa menetap disini.
Tapi Tuhan berkata lain.

Di malam tanggal 19 Februari 2018.
Ketika kendaraan yang aku naiki melesat di kota dengan sejuta memori.
Suara klakson, kemacetan, dan sautan pluit dari para tukang parkir saling beradu.
Dengan sekuat tenaga aku tidak mengeluarkan suara isakan.
Kubekap mulutku.
Aku tak ingin keluargaku mendengarnya.
Ini berat, sungguh.

Pada akhirnya, aku harus mengalah.
Membawa semua kenangan dan mengawali cerita baru.
Ingatan ketika aku menangis tanpa suara dan tanganku bergetar memegang handphone selalu membekas.
Membalas satu-persatu salam perpisahan dari teman-teman.
Untung saja hari itu sudah malam, jadi aku tak perlu repot-repot mencari alibi kenapa mukaku sembab.

Terlihat sekali aku berpura-pura tegar.
Bagaimana tidak? Setelah hampir lima belas tahun menetap, namun dalam sekejap aku harus ikhlas meninggalkan Bandung.
Padahal saat itu aku sedang menikmati masa-masa putih abuku.

Entah bagaimana aku mendeskripsikan perasaanku saat itu.
Kacau? Sudah pasti.
Tidak rela? Sangat.
Ingin marah? Aku pun bingung harus melampiaskannya ke siapa.

Semua kenangan di Bumi Pasundan itu aku simpan baik-baik.
Tapi ada beberapa kenangan yang harus aku lupakan.
Termasuk lagu Sampai Jumpa dari Endank Soekamti yang aku benci sampai sekarang.
Ketika aku mendengar lagu itu, otomatis bayangan saat teman-teman kelas SMA ku membacakan salam perpisahan yang mereka tulis di kertas langsung terputar.

Terima kasih, Bandung. Aku pamit.

Januari, 2019

[ 2018. Foto studio terakhir sebelum pindah with barudak SMP well ]

[ 2017. Hari kartini bersama Scimathri. Tangan Andin patah gara-gara insiden akrobat salah posisi jatuh pas lompat jauh ]

[ 2017. Scimathri abis nyoblos ketua OSIS baru ]

[ 2017. Ciwi-ciwi temen SMP tapi satu sekolah lagi pas SMA ]

[ 2017. Rara. Tetangga depan rumah. Temen sekelas sejak SD-SMA. Alias eneg dia terus ]

[ 2017. Seru banget event nari Mojang Priangan pas demo ekskul SMA! ]

[ 2016. Foto jadul pas SMP. Abis upacara hari Senin. Dor! Andin yang mana? ]

[ 2015. Pokoknya gayanya harus kayak gitu!]

[ 2016. Cie udah beres UN ]

[ 2016. 9G jadi petugas upacara. Andin jadi dirijen bwahahaha ]

[ 2016. 9G’s boys. Ihsan, Codi, Adita, Dipo, Bapi, Agung ]

[ 2016. Depan ruang Kepsek. Mamprang sekali pemirsah. Sebelah kiri lu siapa ndin?! ]

[ 2016. Ada mereka di kelas kayak pasar, gak ada mereka sepi ]

[ 2015. Renang bulanan bersama Pak Dandi di waterpark ]

[ 2015. Pulang les Smart bareng Dinda (kanan) ]

Originally published at https://deepanayara.wordpress.com on December 20, 2022.

--

--

Lilpeace

Seorang gadis yang senang menyuarakan isi kepala melalui deret tulisan🌷